Pengertian partisipasi politik adalah kegiatan warganegara
yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi
politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus
ataupun pegawai negeri dan sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan
dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa.
Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau
kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson
membagi landasan partisipasi politik ini menjadi: [5]
kelas – individu-individu dengan status sosial, pendapatan,
dan pekerjaan yang serupa.
kelompok atau komunal – individu-individu dengan asal-usul
ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa.
lingkungan – individu-individu yang jarak tempat tinggal
(domisilinya) berdekatan.
partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan
organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan
kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan, dan
golongan atau faksi – individu-individu yang dipersatukan
oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya
membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat
status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.
Mode Partisipasi Politik
Mode partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan
partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar: Conventional
dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti
Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama
ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional adalah mode
partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New
Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan
(environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa
(students protest), dan teror.
Bentuk Partisipasi Politik
Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor
“kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik
mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan
Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:
Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara dalam
pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi
calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi
hasil pemilu;
Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi
pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu;
Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam
organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi
pengambilan keputusan oleh pemerintah;
Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok dalam
membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi
keputusan mereka, dan
Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau
kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan
kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara,
teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan
Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya
tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk
partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman,
pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke
dalam kajian ini.
Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson
belumlah relatif lengkap karena keduanya belum memasukkan bentuk-bentuk
partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik,
atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu. Misalnya,
Thomas M. Magstadt menyebutkan bentuk-bentuk partisipasi politik dapat
meliputi: (1) Opini publik; (2) Polling; (3) Pemilihan umum; dan (4) Demokrasi
langsung. [6] Opini publik adalah gagasan serta pandangan yang diekspresikan
oleh para pembayar pajak dan konstituen pemilu.
Opini Publik. Opini publik yang kuat dapat saja mendorong
para legislator ataupun eksekutif politik mengubah pandangan mereka atas suatu
isu. Opini publik ini mengejawantah dalam bentuk lain partisipasi politik
selanjutnya, berupa polling, pemilihan umum, dan demokrasi langsung.
Polling. Polling adalah upaya pengukuran opini publik dan
juga memengaruhinya. Melalui polling inilah, partisipasi politik (menurut
Magstadt) warganegara menemui manifestasinya. Di dalam polling, terdapat aneka
konsep yang menjadi bagian di dalam dirinya yaitu: straw polls, random
sampling, stratified sampling, exit polling, dan tracking polls.
Straw polls adalah survey yang tidak ilmiah karena bersifat
sederhana, murah, dan amat terbuka untuk penyalahgunaan dan manipulasi. Straw
polls dianggap tidak ilmiah karena tidak memertimbangkan representasi populasi
yang menjadi responden polling. Penentuan responden bersifat serampangan, dan
terkadang hanya menggunakan sampel yang hanya merupakan bagian tertentu dari
populasi.
Random sampling adalah metode polling yang melibatkan
canvassing atas populasi secara acak. Lawan dari random sampling adalah
stratified sampling. Dalam teknik ini, disarankan jumlah minimal untuk suatu
polling adalah 1500 orang apabila populasi yang diambil pendapatnya adalah
besar. Pengambilan sampel acak harus bersifat lintas-segmen seperti usia, ras,
agama, orientasi politik, pendidikan, dan faktor-faktor lain yang signifikan di
suatu masyarakat. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Metode
ini adalah cara menentukan responden polling, yang diadakan akibat munculnya
keterbatasan untuk melakukan random sampling. Dalam stratified sampling, pihak
yang menyelenggarakan polling memilih populasi yang cukup kecil tetapi memiliki
karakteristik khusus (agama, usia, income, afiliasi partai politik, dan
sejenisnya).
Exit polling adalah polling yang memungkinkan jaringan
televisi memrediksi pemenang suatu pemilihan umum segera setelah pemungutuan
suara usai. Teknik yang dilakukan adalah menyurvei pemberi suara di tps-tps
tertentu.
Tracking polls adalah polling yang dilakukan atas responden
yang sama dalam suatu periode kampanye. Tujuannya mengidentifikasi peralihan
sentimen pemilih atas suatu calon, partai, ataupun isu. Tujuan dari polling ini
adalah memerbaiki kinerja kampanye calon, kampaye parpol, bahkan kinerja
pemerintah.
Pemilihan Umum. Pemilihan umum (Pemilu) erat hubungannya
dengan polling. Pemilu hakikatnya adalah polling "paling lengkap"
karena menggunakan seluruh warga negara benar-benar punya hak pilih (tidak
seperti polling yang menggunakan sampel). Untuk pembahasan lengkap mengenai
Pemilu silakan klik link: http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/pemilihan-umum.html
Demokrasi Langsung.
Demokrasi langsung adalah suatu situasi di mana pemilih
(konstituen) sekaligus menjadi legislator. Demokrasi langsung terdiri atas
plebisit dan referendum. Plebisit adalah pengambilan suara oleh seluruh
komunitas atas kebijakan publik dalam masalah tertentu. Misalnya, dalam kasus
kenaikan harga BBM ketika parlemen mengalami deadlock dengan eksekutif,
diambilah plebisit apakah naik atau tidak. Referendum adalah pemberian suara
dengan mana warganegara dapat memutuskan suatu undang-undang. Misalnya, apakah
undang-undang otonomi daerah perlu direvisi ataukah tidak, dan parlemen
mengalami deadlock, dilakukanlah referendum.
Dimensi Subyektif Individu
Dimensi subyektif adalah serangkaian faktor psikologis yang
berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk terlibat dalam partisipasi
politik. Faktor-faktor ini cukup banyak, yang untuk kepentingan tulisan ini
hanya akan diajukan 2 jenis saja yaitu Political Dissafection dan Political
Efficacy.
Political Disaffection.
Political Disaffection adalah istilah yang mengacu pada
perilaku dan perasaan negatif individu atau kelompok terhadap suatu sistem
politik. Penyebab utama dari political disaffection ini dihipotesiskan adalah
media massa, terutama televisi. Hipotesis tersebut diangkat dari kajian Michael
J. Robinson selama 1970-an yang mempopulerkan istilah “videomalaise”.[7]
Dengan banyaknya individu menyaksikan acara televisi,
utamanya berita-berita politik, mereka mengalami keterasingan politik
(political alienation). Keterasingan ini akibat melemahnya dukungan terhadap
struktur-struktur politik yang ada di sistem politik seperti parlemen,
kepresidenan, kehakiman, partai politik, dan lainnya. Individu merasa bahwa
struktur-struktur tersebut dianggap tidak lagi memperhatikan kepentingan
mereka. Wujud keterasingan ini muncul dalam bentuk sinisme politik berupa
protes-protes, demonstrasi-demonstrasi, dan huru-hara. Jika tingkat political
disaffection tinggi, maka para individu atau kelompok cenderung memilih bentuk
partisipasi yang sinis ini.
Political Efficacy.
Political Efficacy adalah istilah yang mengacu kepada
perasaan bahwa tindakan politik (partisipasi politik) seseorang dapat memiliki
dampak terhadap proses-proses politik. Keterlibatan individu atau kelompok
dalam partisipasi politik tidak bersifat pasti atau permanen melainkan
berubah-ubah. Dapat saja seseorang yang menggunakan hak-nya untuk memiliki di
suatu periode, tidak menggunakan hak tersebut pada periode lainnya. Secara
teroretis, ikut atau tidaknya individu atau kelompok ke dalam bentuk
partisipasi politik bergantung pada Political Efficacy ini.[8]
Pernyataan-pernyataan sehubungan dengan masalah Political
Efficacy ini adalah:
“Saya berpikir bahwa para pejabat itu tidak cukup peduli
dengan apa yang saya pikirkan.”
"Ikut mencoblos dalam Pemilu adalah satu-satunya cara
bagaimana orang seperti saya ini bisa berkata sesuatu tentang bagaimana
pemerintah itu bertindak.”
“Orang seperti saya tidak bisa bicara apa-apa tentang
bagaimana pemerintah itu sebaiknya.”
“Kadang masalah politik dan pemerintahan terlalu rumit agar
bisa dimengerti oleh orang seperti saya.”
Political efficacy terbagi 2 yaitu external political
efficacy dan internal political efficacy.
External political efficacy ditujukan kepada sistem politik,
pemerintah, atau negara dan diwakili oleh pernyataan nomor 1 dan 3.
Sementara internal political efficacy merupakan kemampuan
politik yang dirasakan di dalam diri individu, yang diwakili peryataan nomor 2
dan 4. Dari sisi stabilitas politik, sebagian peneliti ilmu politik menganggap
bahwa stabilitas politik akan lahir jika tingkat internal political efficacy
rendah dan tingkat external political efficacy tinggi.
----------------------------------------------------
Referensi
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di
Negara Berkembang, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) h. 9-10.
Ibid.
Silvia Bolgherini, "Participation" dalam Mauro
Calise and Theodore J. Lowi, Hyperpolitics: An Interactive Dictionary of
Political Science Concept (Chicago: The University of Chicago, 2010) p. 169.
Oscar Garcia Luengo, E-Activism New Media and Political
Participation in Europe, (CONFines 2/4 agosto-diciembre 2006)
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi ...
op.cit.
Thomas M. Magstadt, Understanding Politics (Belmont: Cengage
Learning, 2012) pp. 273-82.
Christina Holtz-Bacha, Political Disaffection, dalam dalam
Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of Political
Communication, (California : Sage Publications, 2008) p.577-9.
Jan W. van Deth, Political Participation, dalam Lynda Lee
Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2.
Kai Arzheimer, Political Efficacy, dalam Lynda Lee Kaid and
Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2. p. 579-80.
0 comments:
Post a Comment