Masyarakat Indonesia sangat
heterogen. Heterogenitas bangsa Indonesia tidak dalam arti budaya saja
melainkan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap budaya politik bangsanya.
Bentuk budaya politik Indonesia merupakan subbudaya atau budaya subnasional
yang dibawa oleh pelaku-pelaku politik hingga terjadi Interaksi, kerja sama dan
persaingan antar-subbudaya politik itu. Interaksi dan pertemuan-pertemuan antar
subbudaya itu melatarbelakangi tingkah laku para aktor politik yang terlibat
dalam pentas panggung politik nasional.
Menurut Rusadi, budaya politik
Indonesia hingga dewasa ini belum banyak mengalami perubahann pergeseran dan
perpindahan yang berarti. Walaupun sistem politiknya sudah beberapa kali
mengalami perubahan ditinjau dari pelembagaan formal. Misalnya sistem politik
demokrasi liberal ke sistem politik demokrasi terpimpin dan ke sistem politik
demokrasi pancasila. Budaya politik yang berlaku dalam sistem perpolitikan Indonesia
relatif konstan.
Di era reformasi sekarang ini
sistem politik Indonesia mengalami perkembangan yang cukup bagus dan lebih
demokratis dalam melibatkan partisipan dalam berbagai macam kegiatan politik
seperti pemilu langsung untuk memilih wakil rakyat.
Dalam pembentukan budaya politik
budaya politik nasional, terdapat beberapa unsur yang berpengaruh, yaitu
sebagai berikut :
a. Unsur subbudaya politik yang berbentuk
budaya politik asal.
b. Anaka rupa subbudaya politik yang berasal
dari luar lingkungan tempat budaya politik asal itu berada.
c. Budaya Politik Nasional itu sendiri.
Lebih
jauh lagi pertumbuhan politik nasional dapat dibagi dalam beberapa tahap.
a. Berlakunya politik nasional yang sedang
berada dalam proses pembentukannya.
b. Budaya politik nasional yang tengah
mengalami proses pematangan. Pada tahap ini, budaya politik nasional pada
dasarnya sudah ada, akan tetapi masih belum matang.
c. Budaya politik nasional yang sudah mapan
yaitu budaya politik yang telah diakui keberadaannya secara nasional.
PERKEMBANGAN
BUDAYA POLITIK DI INDONESIA.
Budaya
yang berasal dari kata ‘buddhayah’ yang berarti akal, atau dapat juga
didefinisikan secara terpisah yaitu dengan dua buah kata ‘budi’ dan ‘daya’ yang
apabila digabungkan menghasilkan sintesa arti mendayakan budi, atau menggunakan
akal budi tersebut. Bila melihat budaya dalam konteks politik hal ini
menyangkut dengan sistem politik yang dianut suatu negara beserta segala unsur
(pola bersikap & pola bertingkah laku) yang terdapat didalamnya.
Sikap & tingkah laku politik
seseorang menjadi suatu obyek penanda gejala-gejala politik yang akan terjadi
pada orang tersebut dan orang-orang yang berada di bawah politiknya. Contohnya
ialah jikalau seseorang telah terbiasa dengan sikap dan tingkah laku politik
yang hanya tahu menerima, menurut atau memberi perintah tanpa mempersoalkan
atau memberi kesempatan buat mempertanyakan apa yang terkandung dalan perintah
itu. Dapat diperkirakan orang itu akan merasa aneh, canggung atau frustasi
bilamana ia berada dalam lingkungan masyarakatnya yang kritis, yang sering,
kalaulah tidak selalu, mempertanyakan sesuatu keputusan atau kebijaksanaan
politik.
Golongan elit yang strategis
seperti para pemegang kekuasaan biasanya menjadi objek pengamatan tingkah laku
ini, sebab peranan mereka biasanya amat menentukan walau tindakan politik
mereka tidak selalu sejurus dengan iklim politik lingkungannya. Golongan elit
strategis biasanya secara sadar memakai cara-cara yang tidak demokratis guna
menyearahkan masyarakatnya untuk menuju tujuan yang dianut oleh golongan ini.
Kemerosotan demokratisasi biasanya terjadi disini, walaupun mungkin terjadi
kemajuan pada beberapa bidang seperti bidang ekonomi dan yang lainnya.
Kebudayaan politik Indonesia pada
dasarnya bersumber pada pola sikap dan tingkah laku politik yang majemuk. Namun
dari sinilah masalah-masalah biasanya bersumber. Mengapa? Dikarenakan oleh
karena golongan elite yang mempunyai rasa idealisme yang tinggi. Akan tetapi
kadar idealisme yang tinggi itu sering tidak dilandasi oleh pengetahuan yang
mantap tentang realita hidup masyarakat. Sedangkan masyarakat yang hidup di
dalam realita ini terbentur oleh tembok kenyataan hidup yang berbeda dengan
idealisme yang diterapkan oleh golongan elit tersebut. Contohnya, seorang
kepala pemerintahan yang mencanangkan program wajib belajar 9 tahun demi
meningkatkan mutu pendidikan, namun pada aplikasinya banyak anak-anak yang pada
jenjang pendidikan dasar putus sekolah dengan berbagai alasan, seperti tidak
memiliki biaya. Hal ini berarti idealisme itu tidak diimplikasikan secara riil
dan materiil ke dalam masyarakat yang terlibat dibawah politiknya.
Idealisme diakui memanglah penting.
Tetapi bersikap berlebihan atas idealisme itu akan menciptakan suatu ideologi
yang sempit yang biasanya akan menciptakan suatu sikap dan tingkahlaku politik
yang egois dan mau menang sendiri. Demokrasi biasanya mampu menjadi jalan
penengah bagi atas polemik ini.
Indonesia sendiri mulai menganut sistem
demokrasi ini sejak awal kemerdeka-annya yang dicetuskan di dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi dianggap merupakan sistem yang cocok di Indonesia karena
kemajemukan masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu Demokrasi yang dilakukan
dengan musyawarah mufakat berusaha untuk mencapai obyektifitas dalam berbagai
bidang yang secara khusus adalah politik. Kondisi obyektif tersebut berperan
untuk menciptakan iklim pemerintahan yang kondusif di Indonesia. Walaupun
demikian, perilaku politik manusia di Indonesia masih memiliki corak-corak yang
menjadikannya sulit untuk menerapkan Demokrasi yang murni.
Corak pertama terdapat pada
golongan elite strategis, yakni kecenderungan untuk memaksakan subyektifisme
mereka agar menjadi obyektifisme, sikap seperti ini biasanya melahirkan sikap
mental yang otoriter/totaliter. Corak kedua terdapat pada anggota masyarakat
biasa, corak ini bersifat emosional-primordial. Kedua cirak ini tersintesa
sehingga menciptakan suasana politik yang otoriter/totaliter.
Sejauh ini kita sudah mengetahui
adanya perbedaan atau kesenjangan antara corak-corak sikap dan tingkah laku
politik yang tampak berlaku dalam masyarakat dengan corak sikap dan tingkahlaku
politik yang dikehendaki oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kita tahu
bahwa manusia Indonesia sekarang ini masih belum mencerminkan nilai-nilai
Pancasila itu dalam sikap dan tingkah lakunya sehari-hari. Kenyataan
tersebutlah yang hendak kita rubah dengan nilai-nilai idealisme pancasila,
untuk mencapai manusia yang paling tidak mendekati kesempurnaan dalam konteks
Pancasila.
Esensi manusia ideal tersebut harus
dikaitkan pada konsep “dinamika dalam kestabilan”. Arti kata dinamik disini
berarti berkembang untuk menjadi lebih baik. Misalkan kepada suatu generasi
diwariskan suatu undang-undang, diharapkan dengan dinamika yang ada dalam
masyarakat tersebut dapat menjadikan Undang-Undang tersebut bersifat luwes dan
fleksibel, sehingga tanpa menghilangkan nilai-nilai esensi yang ada, generasi
tersebut terus berkembang. Dinamika dan kemerdekaan berpikir tersebut
diharapkan mampu untuk memperkokoh persatuan dan memupuk pertumbuhan.
Yang menjadi persoalan kini ialah
bagaimana dapat menjadikan individu-individu yang berada di masyarakat
Indonesia untuk mempunyai ciri “dinamika dalam kestabilan” yakni menjadi
manusia yang ideal yang diinginkan oleh Pancasila. Maka disini diperlukanlah
suatu proses yang dinamakan sosialisasi, sosialisasi Pancasila. Sosalisasi ini
jikalau berjalan progressif dan berhasil maka kita akan meimplikasikan
nilai-nilai Pancasila kedalam berbagai bidang kehidupan. Dari
penanaman-penanaman nilai ini akan melahirkan kebudayaan-kebudayaan yang
berideologikan Pancasila. Proses kelahiran ini akan memakan waktu yang cukup
lama, jadi kita tidak bisa mengharapkan hasil yang instant terjadinya
pembudayaan.
Dua faktor yang memungkinkan
keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai dalam diri seseorang yaitu sampai
nilai-nilai itu berhasil tertanam di dalam dirinya dengan baik. Kedua faktor
itu adalah:
Emosional
psikologis, faktor yang berasal dari hatinya
Rasio,
faktor yang berasal dari otaknya
Jikalau
kedua faktor tersebut dalam diri seseorang kompatibel dengan nilai-nilai
Pancasila maka pada saat itu terjadilah pembudayaan Pancasila itu dengan
sendirinya.
Tentu
saja tidak hanya kedua faktor tersebut. Segi lain pula yang patut diperhaikan
dalam proses pembudayaan adalah masalah waktu. Pembudayaan tidak berlangsung
secara instan dalam diri seseorang namun melalui suatu proses yang tentunya
membutuhkan tahapan-tahapan yang adalah
pengenalan-pemahaman-penilaian-penghayatan-pengamalan. Faktor kronologis ini
berlangsung berbeda untuk setiap kelompok usia.
Melepaskan
kebiasaan yang telah menjadi kebudayaan yang lama merupakan suatu hal yang
berat, namun hal tersebutlah yang diperlukan oleh bangsa Indonesia. Sekarang ini bangsa kita memerlukan suatu
transformasi budaya sehingga membentuk budaya yang memberikan ciri Ideal kepada
setiap Individu yakni berciri seperti manusia yang lebih Pancasilais.
Transformasi iu memerlukan tahapan-tahapan pemahaman dan penghayatan yang
mendalam yang terkandung di dalam nilai-nilai yang menuntut perubahan atau
pembaharuan. Keberhasilan atau kegagalan pembudayaan dan beserta segala
prosesnya akan menentukan jalannya perkembangan politik yang ditempuh oleh
bangsa Indonesia di masa depan.
FAKTOR
PENYEBAB BERKEMBANGNYA BUDAYA POLITIK DI INDONESIA
(1)
Tingkat pendidikan masyarakat sebagai kunc utama perkembangan budaya politik
masyarakat
(2)
Tingkat ekonomi masyarakat, semakin tinggi tingkat ekonomi/sejahtera masyarakat
maka partisipasi masyarakat pun semakin besar
(3)
Reformasi politik/political will (semangat merevisi dan mengadopsi system
politik yang lebih baik)
(4)
Supremasi hukum (adanya penegakan hukum yang adil,independen,dan Bebas)
(5)
Media komunikasi yang independen (berfungsi sebagai control
sosial,bebas,dan mandiri)
Itulah artikel yang dapat penulis sampaikan, semoga
bermanfaat
terimakasih
0 comments:
Post a Comment