Budaya politik pada masa demokrasi parlementer, Budaya politik pada masa demokrasi terpimpin,
Budaya politik pada masa demokrasi pancasila
1 Hirarki yang Tegar/Ketat
Masyarakat Jawa, dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat hirarkis. Stratifikasi sosial yang hirarkis ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa (wong gedhe) dengan rakyat kebanyakan (wong cilik). Masing-masing terpisah melalui tatanan hirarkis yang sangat ketat. Alam pikiran dan tatacara sopan santun diekspresikan sedemikian rupa sesuai dengan asal-usul kelas masing-masing. Penguasa dapat menggunakan bahasa 'kasar' kepada rakyat kebanyakan. Sebaliknya, rakyat harus mengekspresikan diri kepada penguasa dalam bahasa 'halus'. Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercemin pada cara penguasa memandang diri dan rakyatnya.
2 Kecendrungan Patronage
Pola hubungan Patronage merupakan salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia.Pola hubungan ini bersifat individual. Dalam kehidupan politik, tumbuhnya budaya politik semacam ini tampak misalnya di kalangan pelaku politik. Mereka lebih memilih mencari dukungan dari atas daripada menggali dukungn dari basisnya.
3 Kecendrungan Neo-patrimonisalistik
Salah satu kecendrungan dalam kehidupan politik di Indonesia adalah adanya kecendrungan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonisalistik; artinya meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik zeperti birokrasi, perilaku negara masih memperlihatkan tradisi dan budaya politik yang berkarakter patrimonial.
Ciri-ciri birokrasi modern:
a. Adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi
b. Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tegas
c. Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi, dan standar-standar formalyang mengatur bekerjanya organisasi dan tingkah laku anggotanya
d. Adanya personel yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar karier, dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan.
1. Era Demokrasi Parlementer (1945-1950)
Budaya politik yang berkembang pada era Demokrasi
Parlementer sangat beragam. Dengan tingginya partisipasi massa dalam
menyalurkan tuntutan mereka, menimbulkan anggapan bahwa seluruh lapisan
masyarakat telah berbudaya politik partisipan. Anggapan bahwa rakyat mengenal
hak-haknya dan dapat melaksanakan kewajibannya menyebabkan tumbuhnya deviasi
penilaian terhadap peristiwa-peristiwa politik yang timbul ketika itu (Rusadi
Kantaprawira, 2006: 190). Percobaan kudeta dan pemberontakan, di mana
dibelakangnya sedikit banyak tergambar adanya keterlibatan/keikutsertaan
rakyat, dapat diberi arti bahwa kelompok rakyat yang bersangkutan memang telah
sadar, atau mereka hanya terbawa-bawa oleh pola-pola aliran yang ada ketika
itu.
Para elite Indonesia yang disebut penghimpun solidaritas
(solidarity maker) lebih nampak dalam periode demokrasi parlementer ini.
Walaupun demikian, waktu itu terlihat pula munculnya kabinet-kabinet yang
terbentuk dalam suasana keselang-selingan pergantian kepemimpinan yang mana
kelompok adminitrators memegang peranan. Kulminasi krisis politik akibat
pertentangan antar-elite mulai terjadi sejak terbentuknya Dewan Banteng, Dewan
Gajah, dan PRRI pada tahun 1958 (Rusadi Kantaprawira, 2006: 191). Selain itu,
dengan gaya politik yang ideologis pada masing-masing partai politik
menyebabkan tumbuhnya budaya paternalistik. Adanya ikatan dengan
kekuatan-kekuatan politik yang berbeda secara ideologis mengakibatkan fungsi
aparatur negara yang semestinya melayani kepentingan umum tanpa pengecualian,
menjadi cenderung melayani kepentingan golongan menurut ikatan primordial.
Selain itu, orientasi pragmatis juga senantiasa mengiringi budaya poltik pada
era ini.
2. Era Demokrasi Terpimpin (Dimulai Pada 5 Juli 1959-1965)
Budaya politik yang berkembang pada era ini masih diwarnai
dengan sifat primordialisme seperti pada era sebelumnya. Ideologi masih tetap
mewarnai periode ini, walaupun sudah dibatasi secara formal melalui Penpres No.
7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Tokoh politik
memperkenalkan gagasan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Gagasan
tersebut menjadi patokan bagi partai-partai yang berkembang pada era Demorasi
Terpimpin. Dalam kondisi tersebut tokoh politik dapat memelihara keseimbangan
politik (Rusadi Kantaprawira, 2006: 196).
Selain itu, paternalisme juga bahkan dapat hidup lebih subur
di kalangan elit-elit politiknya. Adanya sifat kharismatik dan paternalistik
yang tumbuh di kalangan elit politik dapat menengahi dan kemudian memperoleh
dukungan dari pihak-pihak yang bertikai, baik dengan sukarela maupun dengan
paksaan. Dengan demikian muncul dialektika bahwa pihak yang kurang
kemampuannya, yang tidak dapat menghimpun solidaritas di arena politik, akan
tersingkir dari gelanggang politik. Sedangkan pihak yang lebih kuat akan
merajai/menguasai arena politik.
Pengaturan soal-soal kemasyaraktan lebih cenderung dilakukan
secara paksaan. Hal ini bisa dilihat dari adanya teror mental yang dilakukan
kepada kelompok-kelompok atau orang-orang yang kontra revolusi ataupun kepada
aliran-aliran yang tidak setuju dengan nilai-nilai mutlak yang telah ditetapkan
oleh penguasa (Rusadi Kantaprawira, 2006: 197).
Dari masyarakatnya sendiri, besarnya partisipasi berupa
tuntutan yang diajukan kepada pemerintah juga masih melebihi kapasitas sistem
yang ada. Namun, saluran inputnya dibatasi, yaitu hanya melalui Front Nasional.
Input-input yang masuk melalui Front Nasional tersebut menghasilkan output yang
berupa output simbolik melalui bentuk rapat-rapat raksasa yang hanya
menguntungkan rezim yang sedang berkuasa. Rakyat dalam rapat-rapat raksasa
tidak dapat dianggap memiliki budaya politik sebagai partisipan, melainkan
menujukkan tingkat budaya politik kaula, karena diciptakan atas usaha dari
rezim.
3. Era Demokrasi Pancasila (Tahun 1966-1998)
Gaya politik yang didasarkan primordialisme pada era Orde
Baru sudah mulai ditinggalkan. Yang lebih menonjol adalah gaya intelektual yang
pragmatik dalam penyaluran tuntutan. Dimana pada era ini secara material,
penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar (cardinal coalition)
antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya berintikan teknokrat dan
perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern (Rusadi Kantaprawira, 2006:
200).
Sementara itu, proses pengambilan keputusan kebijakan publik
yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer yang
terbatas sebagaimanaa terjadi dalam tipologi masyarakat birokrasi. Akibatnya
masyarakat hanya menjadi objek mobilisasi kebijakan para elit politik karena
segala sesuatu telah diputuskan di tingkat pusat dalam lingkaran elit terbatas.
Kultur ABS (asal bapak senang) juga sangat kuat dalam era
ini. Sifat birokrasi yang bercirikan patron-klien melahirkan tipe birokrasi
patrimonial, yakni suatu birokrasi dimana hubungan-hubungan yang ada, baik
intern maupun ekstern adalah hubungan antar patron dan klien yang sifatnya
sangat pribadi dan khas.
Dari penjelasan diatas, mengindikasikan bahwa budaya politik
yang berkembang pada era Orde Baru adalah budaya politik subjek. Dimana semua
keputusan dibuat oleh pemerintah, sedangkan rakyat hanya bisa tunduk di bawah
pemerintahan otoriterianisme Soeharto. Kalaupun ada proses pengambilan
keputusan hanya sebagai formalitas karena yang keputusan kebijakan publik yang
hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer.
Di masa Orde Baru kekuasaan patrimonialistik telah
menyebabkan kekuasaan tak terkontrol sehingga negara menjadi sangat kuat
sehingga peluang tumbuhnya civil society terhambat. Contoh budaya politik Neo Patrimonialistik
adalah
a. Proyek di pegang pejabat.
b. Promosi jabatan tidak melalui prosedur yang berlaku
(surat sakti).
c. Anak pejabat menjadi pengusaha besar, memanfaatkan
kekuasaan orang tuanya dan mendapatkan perlakuan istimewa.
d. Anak pejabat memegang posisi strategis baik di
pemerintahan maupun politik.
4. Era Reformasi (Tahun 1998-Sekarang)
Budaya politik yang berkembang pada era reformasi ini adalah
budaya politik yang lebih berorientasi pada kekuasaan yang berkembang di
kalangan elit politik. Budaya seperti itu telah membuat struktur politik
demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Walaupun struktur dan fungsi-fungsi
sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari era yang satu ke era
selanjutnya, namun tidak pada budaya politiknya. Menurut Karl D. Jackson dalam
Budi Winarno (2008), budaya Jawa telah mempunyai peran yang cukup besar dalam
mempengaruhi budaya politik yang berkembang di Indonesia. Relasi antara
pemimpin dan pengikutnya pun menciptakan pola hubungan patron-klien (bercorak
patrimonial). Kekuatan orientasi individu yang berkembang untuk meraih
kekuasaan dibandingkan sebagai pelayan publik di kalangan elit merupakan salah
satu pengaruh budaya politik Jawa yang kuat.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto dkk
dalam Budi Winarno (2008) mengenai kinerja birokrasi di beberapa daerah, bahwa
birokrasi publik masih mempersepsikan dirinya sebagai penguasa daripada sebagai
abdi yang bersedia melayani masyarakat dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari
perilaku para pejabat dan elit politik yang lebih memperjuangkan kepentingan
kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Dengan menguatnya budaya paternalistik, masyarakat lebih
cenderung mengejar status dibandingkan dengan kemakmuran. Reformasi pada tahun
1998 telah memberikan sumbangan bagi berkembangnya budaya poltik partisipan,
namun kuatnya budaya politik patrimonial dan otoriterianisme politik yang masih
berkembang di kalangan elit politik dan penyelenggara pemerintahan masih
senantiasa mengiringi. Walaupun rakyat mulai peduli dengan input-input politik,
akan tetapi tidak diimbangi dengan para elit politik karena mereka masih
memiliki mentalitas budaya politik sebelumnya. Sehingga budaya politik yang
berkembang cenderung merupakan budaya politik subjek-partisipan.
Menurut Ignas Kleden dalam Budi Winarno (2008), terdapat
lima preposisi tentang perubahan politik dan budaya politik yang berlangsung
sejak reformasi 1998, antara lain:
Orientasi Terhadap kekuasaan
Misalnya saja dalam partai politik, orientasi pengejaran
kekuasaan yang sangat kuat dalam partai politik telah membuat partai-partai
politik era reformasi lebih bersifat pragmatis.
Politik mikro vs politik makro
Politik Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada politik
mikro yang terbatas pada hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik, yang
terbatas pada tukar-menukar kepentingan politik. Sedangkan pada politik makro
tidak terlalu diperhatikan dimana merupakan tempat terjadinya tukar-menukar
kekuatan-kekuatan sosial seperti negara, masyarakat, struktur politik, sistem
hukum, civil society, dsb.
kepentingan negara vs kepentingan masyarakat
Realitas politik lebih berorientasi pada kepentingan negara
dibandingkan kepentingan masyarakat.
Bebas dari kemiskinan dan kebebasan beragama
Desentralisasi politik
Pada kenyataannya yang terjadi bukanlah desentralisasi
politik, melainkan lebih pada berpindahnya sentralisme politik dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah.
Dengan demikian, budaya politik era reformasi tetap masih
bercorak patrimonial, berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bersifat sangat
paternalistik, dan pragmatis. Hal ini menurut Soetandyo Wignjosoebroto dalam
Budi Winarno (2008) karena adopsi sistem politik hanya menyentuh pada dimensi
struktur dan fungsi-fungsi politiknya, namun tidak pada budaya politik yang
melingkupi pendirian sistem politik tersebut.
Referensi:
Kantaprawira, Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia Suatu
Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Cetakan ke X.
Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi
Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Winarno, Budi. 2008. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi.
Yogyakarta: Media Pressindo.
Terimakasih, semoga bermanfaat
0 comments:
Post a Comment