TIPE-TIPE BUDAYA
POLITIK
Budaya politik parokial biasanya terdapat pada sistem
politik tradisional dan sederhana dengan ciri khas spesialisasi masih sangat
kecil. Dengan demikian, pelaku-pelaku politik belum memiliki pengkhususan
tugas. Masyarakat dengan budaya parokial tidak mengharapkan apa pun dari sistem
politik termasuk melakukan perubahan-perubahan.
Selain itu, di Indonesia, unsur-unsur budaya lokal masih
sangat melekat pada masyarakat tradisional atau masyarakat pedalaman. Pranata,
tata nilai, dan unsur-unsur adat lebih banyak dipegang teguh daripada persoalan
pembagian peran politik. Pemimpin adat atau kepala suku yang nota bene adalah
pemimpin politik, dapat berfungsi pula sebagai pemimpin agama atau pemimpin
sosial masyarakat bagi kepentingankepentingan ekonomi.
Ciri-ciri budaya politik parokial adalah sebagai berikut.
Budaya politik ini berlangsung dalam masyarakat yang masih
tradisional dan sederhana.
Belum terlihat peran-peran politik yang khusus; peran
politik dilakukan serempak bersamaan dengan peran ekonomi, keagamaan, dan
lain-lain.
Kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan
atau kekuasaan dalam masyarakatnya cenderung rendah.
Warga cenderung tidak menaruh minat terhadap objek-objek
politik yang luas, kecuali yang ada di sekitarnya.
Warga tidak banyak berharap atau tidak memiliki harapan-harapan
tertentu dari sistem politik tempat ia berada.
2. Budaya Politik Kaula
Menurut Mochtar Masoed dan Colin Mac Andrews (2000), budaya
politik kaula/subjek menunjuk pada orang-orang yang secara pasif patuh pada
pejabat-pejabat pemerintahan dan undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri
dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihan.
Budaya politik kaula/subjek memiliki frekuensi yang tinggi
terhadap sistem politiknya. Namun, perhatian dan intensitas orientasi mereka
terhadap aspek masukan dan partisipasinya dalam aspek keluaran sangat rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa telah adanya otoritas dari pemerintah. Posisi
kaula/subjek tidak ikut menentukan apa-apa terhadap perubahan politik. Masyarakat
beranggapan bahwa dirinya adalah subjek yang tidak berdaya untuk memengaruhi
atau mengubah sistem.
Dengan demikian, secara umum mereka menerima segala
keputusan dan kebijaksanaan yang diambil oleh pejabat yang berwenang dalam
masyarakat. Bahkan, rakyat memiliki keyakinan bahwa apa pun keputusan/
kebijakan pejabat adalah mutlak, tidak dapat diubah-ubah atau dikoreksi,
apalagi ditentang. Prinsip yang dipegang adalah mematuhi perintah, menerima,
loyal, dan setia terhadap anjuran, perintah, serta kebijakan penguasa.
Ciri-ciri budaya politik subjek adalah sebagai berikut.
Warga menyadari sepenuhnya akan otoritasi pemerintah.
Tidak banyak warga yang memberi masukan dan tuntutan kepada
pemerintah, tetapi mereka cukup puas untuk menerima apa yang berasal dari
pemerintah.
Warga bersikap menerima saja putusan yang dianggapnya
sebagai sesuatu yang tidak boleh dikoreksi, apalagi ditentang.
Sikap warga sebagai aktor politik adalah pasif; artinya
warga tidak mampu berbuat banyak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Warga menaruh kesadaran, minat, dan perhatian terhadap
sistem politik pada umumnya dan terutama terhadap objek politik output,
sedangkan kesadarannya terhadap input dan kesadarannya sebagai aktor politik
masih rendah.
3. Budaya Politik Partisipan
Menurut pendapat Almond dan Verba (1966), budaya politik
partisipan adalah suatu bentuk budaya yang berprinsip bahwa anggota masyarakat
diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem sebagai keseluruhan dan
terhadap struktur dan proses politik serta administratif.
Dalam budaya politik partisipan, orientasi politik warga
terhadap keseluruhan objek politik, baik umum, input dan output, maupun
pribadinya dapat dikatakan tinggi. Ciri-ciri dari budaya politik partisipan
adalah sebagai berikut.
Warga menyadari akan hak dan tanggung jawabnya dan mampu
mempergunakan hak itu serta menanggung kewajibannya.
Warga tidak menerima begitu saja keadaan, tunduk pada
keadaan, berdisiplin tetapi dapat menilai dengan penuh kesadaran semua objek
politik, baik keseluruhan, input, output maupun posisi dirinya sendiri.
Anggota masyarakat sangat partisipatif terhadap semua objek
politik, baik menerima maupun menolak suatu objek politik.
Masyarakat menyadari bahwa ia adalah warga negara yang aktif
dan berperan sebagai aktivis.
Kehidupan politik dianggap sebagai sarana transaksi, seperti
halnya penjual dan pembeli. Warga dapat menerima berdasarkan kesadaran, tetapi
juga mampu menolak berdasarkan penilaiannya sendiri.
Terimakasih, semoga bermanfaat

0 comments:
Post a Comment